Sunday, 13 March 2016

CERAMAH TENTANG GERHANA MATAHARI



                                              Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin*
Allahu akbar.. Allahu akbar.. wa lillahil-hamd..
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Untuk kesekian kalinya kita mengalami, memperhatikan, menyaksikan salah satu dari sekian jumlah kekuasaan Allah SWT. Allah SWT memperlihatkan aayatun min ayaatii (ayat-ayat kekuasaan-Nya) yang hanya sebagian kecil dari sejumlah banyak tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Hahikatnya merupakan peringatan kepada manusia yang maha kecil, yang hakikatnya manusia tidak ada apa-apanya. Apabila makhluk-makhluk yang di langit secara fisik begitu hebat, begitu besar serta taat dan tunduk kepada hukum alam, taat dan tunduk kepada sunnatullah, sehingga pada suatu saat terjadilah kejadian yang disebut khusuf (gerhana). Maka hahikatnya, seperti itulah pada suatu saat tidak mustahil manusia pun akan mengalami kegelapan, akan mengalami khusuf, seperti gelapnya matahari, gelapnya bulan, seperti gelapnya bumi. Namun biarlah matahari dan bulan termasuk bumi yang mengalami khusuf, asalkan jangan hati-hati manusia yang mengalami gerhana, yang mengalami kegelapan. Kenapa demikian? Dapat kita bayangkan, apabila hati-hati manusia sudah gelap, apalah kiranya yang terjadi pada satu lingkungan yang di diami oleh manusia? Oleh karenanya, pada satu kesempatan Jibril secara pribadi berdialog dengan Rasulullah SAW, yang tentu pada hakikatnya hal ini adalah merupakan peringatan kepada diri kita masing-masing.
Jibril berkata : “Yaa muhammad, isy maa syi’ta (Wahai Muhammad, silahkan engkau hidup sekehendakmu, hidup bebas tanpa batas, hidup tanpa aturan dan ketentuan), tetapi ingatlah hakikatnya tidak ada manusia yang abadi, tidak ada manusia yang hidup kekal, fainnaka mayyitun (sungguh engkau akan mengalami proses kematian)”. Maka oleh karenanya sebagaimana yang kita maklumi, bahwa beda antara manusia dengan hewan secara mutlak, sehingga ada orang yang mengungkapkan, apabila hewan secara mutlak mengalami kematian bakal bilatungan (akan belatungan), tetapi manusia kalau mengalami kematian bakal nyanghareup balitungan (akan menghadapi hisab/perhitungan). Dalam arti, ingat bahwa manusia diwujudkan tidak abatsan (sia-sia), ada maksud dan tujuan tertentu.
Suatu saat, hasil dari pada perjalanan hidup yang relatif sebentar, justru inilah yang sebentar itu yang akan menentukan kelanggengan hidup di sana, kelanggengan hidup di yaumil akhir, apakah kenikmatan yang langgeng atau kebalikannya, kesengsaraan yang langgeng?

Jibril berkata kemabali : “Wa ahbib maa syi’ta (silahkan kau cintai siapa dan apa saja), tetapi ingat fainnaka mufaariquhu (sungguh akan berpisah)”. Mau mencintai istri, suatu saat mufaariquhu, mencintai suami, suatu saat mufaariquhu, mencintai anak, suatu saat mufaariquhu, akan berpisah antara yang mencintai dengan yang dicintai.
Makanya wajar apabila Rasulullah SAW pernah menyatakan, apabila manusia mengalami al-mautu, maka yatba’ul-mayyita tsalaatsatun, ada tiga perkara yang akan mengikuti mayyit dengan kematiannya itu. Yang pertama ahluhu (keluarganya) wa maaluhu (hartanya) wa ‘amaluhu (dan amalnya), yarji’u minhu-tsnaani (namun yang dua tidak turut ikut, yang dua akan kembali lagi). Yang mana yang tidak mau ikut itu? Maalhu wa ahluhu (harta dan keluarganya), yang tetap setia adalah ‘amaluhu (amalnya), yatba’uhu amaluhu. Yang menjadi masalah, amal yang mana, apakah yang termasuk pernyataan faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan yarahu atau faman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarahu?
Dalam kesempatan khutbah khusuf, Rasulullah SAW secara khusus meminta perhatian kepada kaum perempuan, sehingga beliau secara khusus menyatakan : Yaa ma’syaran-nisaa (wahai kaum perempuan), ittaqinnal-laah (hendaklah kalian benar-benar bertaqwa kepada Allah), fainni uriitukunna (karena sungguh diperlihatkan kalian kepadaku), aktsara ahlin-naar (paling banyak pengisi neraka). Waktu itu ada sahabat yang merasa heran : “Ya Rasulullah kenapa mereka itu termasuk yang paling banyak masuk neraka?, Ayakfurna? (apakah mereka itu kufur?), Rasul menjawab : “Benar”. Para sahabat bertanya kembali, ayakfurna billahi? (apakah mereka kufur kepada Allah?), Rasul menjawab : “Bukan”, yakfurnal-‘asyiira wa yakfurnal-ihsaan (mereka mengkufuri suaminya dan mengkufuri perbuatan baik). Sahabat bertanya kembali : “Ya Rasulullah, bagaiman mereka mengkufuri kepada suami, bagaimana gerangan mereka mengkufuri kepada perbuatan baik? Rasul dengan tegas menyatakan, idzaa ahsanta (apabila kamu berbuat baik), ilaa ihdahunna ad-dahra (selama masa yang lama, masa yang panjang kepada salah seorang di antara mereka), tsumma ra-at syaian (kemudian dia melihat sesuatu dari dirimu yang tidak berkenan di hatinya, yang tidak sejalan dengan kemauannya), tiba-tiba timbul suatu pernyataan, maa ra-aitu minka khairan qaththu (aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun dari dirimu). Inilah yang dimaksud yakfurnal-‘asyiira wa yakfurnal-ihsaan.
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Maka tentu hal itu bukan ditujukan kepada kaum perempuan, tetapi tentu termasuk kepada kita kaum laki-laki. Hanya konotasinya adalah jangan sekali-kali menghapus kebaikan orang, namun demikianlah kenyataannya dalam kehidupan di suatu lingkungan, sewaktu-waktu timbul ungkapan-ungkapan yang seperti itu. Maka wajar apabila Rasulullah SAW mengingatkan segerakan, wa atbi’is-sayyiatal-hasanata (ikutkan perbuatan yang buruk itu dengan perbuatan yang baik), tanhuuhaa (agar perbuatan yang baik itu bisa menutupi perbuatan-perbuatan yang tidak baik).
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Maka mudah-mudahan peristiwa gerhana yang kesekian kali yang kita alami pada saat ini akan menjadikan penggugah bagi diri kita masing-masing. Semoga Allah memberikan limpahan maghfirah dan rahmat-Nya kepada diri kita masing-masing

No comments:

Post a Comment

JANG ARI

Comments system

[blogger][disqus][facebook]