Oleh : al-Ustadz
KH. I. Shodikin*
Allahu akbar.. Allahu akbar.. wa lillahil-hamd..
Allahu akbar.. Allahu akbar.. wa lillahil-hamd..
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Untuk kesekian kalinya kita mengalami, memperhatikan,
menyaksikan salah satu dari sekian jumlah kekuasaan Allah SWT. Allah SWT
memperlihatkan aayatun min ayaatii (ayat-ayat kekuasaan-Nya) yang hanya
sebagian kecil dari sejumlah banyak tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Hahikatnya merupakan peringatan
kepada manusia yang maha kecil, yang hakikatnya manusia tidak ada apa-apanya.
Apabila makhluk-makhluk yang di langit secara fisik begitu hebat, begitu besar
serta taat dan tunduk kepada hukum alam, taat dan tunduk kepada sunnatullah,
sehingga pada suatu saat terjadilah kejadian yang disebut khusuf
(gerhana). Maka hahikatnya, seperti itulah pada suatu saat tidak mustahil
manusia pun akan mengalami kegelapan, akan mengalami khusuf, seperti gelapnya
matahari, gelapnya bulan, seperti gelapnya bumi. Namun biarlah matahari dan
bulan termasuk bumi yang mengalami khusuf, asalkan jangan hati-hati manusia
yang mengalami gerhana, yang mengalami kegelapan. Kenapa demikian? Dapat kita
bayangkan, apabila hati-hati manusia sudah gelap, apalah kiranya yang terjadi
pada satu lingkungan yang di diami oleh manusia? Oleh karenanya, pada satu
kesempatan Jibril secara pribadi berdialog dengan Rasulullah SAW, yang tentu
pada hakikatnya hal ini adalah merupakan peringatan kepada diri kita masing-masing.
Jibril berkata : “Yaa muhammad,
isy maa syi’ta (Wahai Muhammad, silahkan engkau hidup sekehendakmu, hidup
bebas tanpa batas, hidup tanpa aturan dan ketentuan), tetapi ingatlah
hakikatnya tidak ada manusia yang abadi, tidak ada manusia yang hidup kekal, fainnaka
mayyitun (sungguh engkau akan mengalami proses kematian)”. Maka oleh
karenanya sebagaimana yang kita maklumi, bahwa beda antara manusia dengan hewan
secara mutlak, sehingga ada orang yang mengungkapkan, apabila hewan secara
mutlak mengalami kematian bakal bilatungan (akan belatungan), tetapi
manusia kalau mengalami kematian bakal nyanghareup balitungan (akan
menghadapi hisab/perhitungan). Dalam arti, ingat bahwa manusia diwujudkan tidak
abatsan (sia-sia), ada maksud dan tujuan tertentu.
Suatu saat, hasil dari pada
perjalanan hidup yang relatif sebentar, justru inilah yang sebentar itu yang
akan menentukan kelanggengan hidup di sana, kelanggengan hidup di yaumil
akhir, apakah kenikmatan yang langgeng atau kebalikannya, kesengsaraan yang
langgeng?
Jibril berkata kemabali : “Wa ahbib maa syi’ta
(silahkan kau cintai siapa dan apa saja), tetapi ingat fainnaka mufaariquhu
(sungguh akan berpisah)”. Mau mencintai istri, suatu saat mufaariquhu,
mencintai suami, suatu saat mufaariquhu, mencintai anak, suatu saat mufaariquhu,
akan berpisah antara yang mencintai dengan yang dicintai.
Makanya wajar apabila Rasulullah SAW
pernah menyatakan, apabila manusia mengalami al-mautu, maka yatba’ul-mayyita
tsalaatsatun, ada tiga perkara yang akan mengikuti mayyit dengan
kematiannya itu. Yang pertama ahluhu (keluarganya) wa maaluhu (hartanya)
wa ‘amaluhu (dan amalnya), yarji’u minhu-tsnaani (namun yang dua
tidak turut ikut, yang dua akan kembali lagi). Yang mana yang tidak mau ikut
itu? Maalhu wa ahluhu (harta dan keluarganya), yang tetap setia adalah ‘amaluhu
(amalnya), yatba’uhu amaluhu. Yang menjadi masalah, amal yang mana,
apakah yang termasuk pernyataan faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan
yarahu atau faman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarahu?
Dalam kesempatan khutbah khusuf,
Rasulullah SAW secara khusus meminta perhatian kepada kaum perempuan, sehingga
beliau secara khusus menyatakan : Yaa ma’syaran-nisaa (wahai kaum
perempuan), ittaqinnal-laah (hendaklah kalian benar-benar bertaqwa
kepada Allah), fainni uriitukunna (karena sungguh diperlihatkan kalian
kepadaku), aktsara ahlin-naar (paling banyak pengisi neraka). Waktu itu
ada sahabat yang merasa heran : “Ya Rasulullah kenapa mereka itu termasuk yang
paling banyak masuk neraka?, Ayakfurna? (apakah mereka itu kufur?),
Rasul menjawab : “Benar”. Para sahabat bertanya kembali, ayakfurna billahi?
(apakah mereka kufur kepada Allah?), Rasul menjawab : “Bukan”, yakfurnal-‘asyiira
wa yakfurnal-ihsaan (mereka mengkufuri suaminya dan mengkufuri perbuatan
baik). Sahabat bertanya kembali : “Ya Rasulullah, bagaiman mereka mengkufuri
kepada suami, bagaimana gerangan mereka mengkufuri kepada perbuatan baik? Rasul
dengan tegas menyatakan, idzaa ahsanta (apabila kamu berbuat baik), ilaa
ihdahunna ad-dahra (selama masa yang lama, masa yang panjang kepada salah
seorang di antara mereka), tsumma ra-at syaian (kemudian dia melihat
sesuatu dari dirimu yang tidak berkenan di hatinya, yang tidak sejalan dengan
kemauannya), tiba-tiba timbul suatu pernyataan, maa ra-aitu minka khairan
qaththu (aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun dari dirimu). Inilah
yang dimaksud yakfurnal-‘asyiira wa yakfurnal-ihsaan.
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Maka tentu hal itu bukan ditujukan
kepada kaum perempuan, tetapi tentu termasuk kepada kita kaum laki-laki. Hanya
konotasinya adalah jangan sekali-kali menghapus kebaikan orang, namun
demikianlah kenyataannya dalam kehidupan di suatu lingkungan, sewaktu-waktu
timbul ungkapan-ungkapan yang seperti itu. Maka wajar apabila Rasulullah SAW
mengingatkan segerakan, wa atbi’is-sayyiatal-hasanata (ikutkan perbuatan
yang buruk itu dengan perbuatan yang baik), tanhuuhaa (agar perbuatan
yang baik itu bisa menutupi perbuatan-perbuatan yang tidak baik).
Hadirin yang dimuliakan Allah SWT..
Maka mudah-mudahan peristiwa gerhana yang kesekian
kali yang kita alami pada saat ini akan menjadikan penggugah bagi diri kita
masing-masing. Semoga Allah memberikan limpahan maghfirah dan rahmat-Nya kepada
diri kita masing-masing
No comments:
Post a Comment